BUDAYA BANJAR DAN ISLAM




Banyak sekali budaya lokal yang masih sampai sekarang dilakukan di daerah Banjarmasin dan sekitarnya. Baik budaya tersebut dilakukan secara periodik dan bersifat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di antaranya adalah hari al-Syura dan bubur al-Syura, maulidan, baayun maulid, batampung tawar, bapalas bidan 

Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura Muharram

    Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura Muharram adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib, penamaan bulan dibuat mengikuti tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar kepada Islam sama ada dari sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan syiar Islam itu sendiri. Karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di hari tersebut, maka agama menyuruh (sunnat) untuk melaksanakan puasa di hari tersebut. Selain disunnahkan puasa, kita juga disunnahkan untuk berbagi dengan anak yatim dan orang yang membutuhkan lainnya. Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur al- Syura yang dibuat bertepatan dengan tanggal 10 Muharram tiap tahunnya. Kenapa dinamakan dengan bubur al-Syura, karena di hari itulah masyarakat Banjar bergotong-royong membuatnya. Keistimewaan bubur al-Syura masyarakat Banjar adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Konon katanya, bahan-bahan yang digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam bahan. 

    Biasanya bubur al-Syura terbuat dari beras yang dimasak dengan Santan dan dicampur dengan segala sayur-sayuran. Menurut Daud, pembuatan bubur ini merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dulu yang ketika itu selalu dalam kekurangan makanan, dikumpulkanlah segala macam tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar dan dicampur dengan segala persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur (Alfani Daud, 1997; 330-331). Tidaklah heran bahan bubur tersebut hampir 40 buah bahan. Biasanya masyarakat Banjar mulai memasak bubur tersebut ketika siang hari dan mulai dibagi-bagikan ke masyarakat ketika sore hari (sekitar jam 4-5 sore) untuk dijadikan makanan berbuka puasa. Hikmah yang dapat diambil dalam pembuatan bubur ini adalah dapat dijadikan syiar Islam dan juga dapat mempererat tali silaturrahim antar masyarakat Banjar pada khususnya

Maulidan

    Maulidan Berasal dari bahasa Arab maulid yang telah dibanjarkan untuk menunjukkan pada sebuah acara perayaan yang dikenal sebagai maulid Nabi yang berarti pada hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Umat Islam banyak yang merayakannya dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan pola kebudayaan masing-masing. Seperti yang ada di daerah Jawa misalnya di Keraton Yogyakarta, diadakan acara Grebek dengan dilengkapi acara ritual-ritual Jawa seperti mengarak benda-benda bersejarah punya sultan, mengarak makanan sampai ke masjid agung dan selanjutnya makanan tersebut diperebutkan masyarakat. Bulan Rabi’ul Awwal yang merupakan bulan kelahiran nabi Muhammad tersebut oleh orang Banjar disebut bulan maulid dan ada juga yang menyebutnya mulud. Kegiatan ini, meskipun tidak masuk dalam doktrin agama, sifatnya kultural tetapi merupakan fenomena universal di kalangan umat Islam di Kalimantan Selatan, Bahkan jika terdapat orang yang dalam ekonomi berkecupan tidak melaksanakan maulidan di rumahnya, maka dianggap tidak baik oleh orang sekitarnya. 
    Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari Kabupaten Tapin sampai Kabupaten Tabalong) ada kegiatan yang sangat mengagumkan, yaitu melaksanakan perayaan tahunan ini satu bulan penuh yang dibagi per-kampung, supaya tidak terjadi dalam satu hari bersamaan perayaan maulid dalam satu kampung. Keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam satu kampung dipusatkan di masjid agung. Salah satu masjid yang digunakan sebagai tempat maulid akbar adalah masjid Keramat al- Mukarramah yang berada di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin. Sebelum dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada dalam kampung tersebut mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan mengundang orang kampung sebelah mereka dan kerabat serta keluarga mereka di rumah. Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Habsyi atau sering disebut dengan rawi (pembacaan biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi dengan qasidah-qasidah yang menggunakan terbang sejenis marawis. Setelah selesai semua itu, ahlu al-bait menyuguhkan makanan bagi yang hadir dalam rumah tersebut. Setelah mereka selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju ke masjid agung untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan ayat-ayat Al Quran, Maulid Habsyi serta diadakan ceramah agama oleh kyai setempat atau dengan mendatangkan penceramah dari luar kota. Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari swadana masyarakat setempat yang dikumpulkan jauh-jauh hari sebelum acara tersebut dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan untuk pencarian dana yang akan digunakan dalam acara tersebut. Selain dalam pencarian dana, mereka juga saling membantu dan berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada yang menjadi tukang masak, tukang parker dan lain sebagainya demi kelancaran acara maulid. Masjid agung dijadikan sebagai tempat maulid karena masjid mempunyai makna sebagai pemersatu masyarakat, serta alasan undangan yang berasal dari luar kota dengan mudah menujunya. Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid agung itu diadakan acara tahlilan dan ceramah agama yang berkaitan dengan maulid Nabi dengan tema keselamatan dunia dan akhirat. Dijelaskan penceramah bahwa keselamatan dunia dan akhirat dapat dicapai dengan apabila kita mencintai Nabi dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari Allah dan Nabi.

Baayun Maulid

    Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan maulid nabi saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah anak diayun-ayun untuk mengharapkan berkah dari nabi. Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh pertunjukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair madihin). Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur Islam. 
    Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi Kaharingan dan Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk mempermudah Islam masuk dan berkembang. Keistemewaan dari ayunan yang digunakan ketika acara baayun maulid adalah tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur (daun kelapa muda) berbentuk burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsur, halilipan, kambang sarai/hiasan dari kertas yang dipintal, hiasan dari wadai/kue 41 seperti cucur, cincin, pisang, nyiur dan lain-lain. Untuk tempat mengaitkan ayunan tersebut, panitia menyiapkan bambu yang panjang, di satu bambu ada terdapat sampai puluhan ayunan yang dikhususkan tempatnya untuk orang dewasa dan anak- anak. 
    Adapun dengan ayunannya dibuat tiga lapis, dengan kain sarigading (sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga. Orang tua yang melaksanakan baayun diharuskan menyiapkan piduduk (makanan) berupa beras, gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung), banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh). Makanan ini menjadi lambang filosofis, seperti gula habang diharapkan anak yang diayun itu perkataan-perkataannya selalu memberikan kedamaian bagi orang yang disekitarnya.

Penulis: GenBI Bidang HUMINFO Komisariat UIN, Kalimantan Selatan
Referensi: Hasan, 2016, Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan, Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan. (14) No. 25 :78-90

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIALISASI & SHARING SESSION BEASISWA BANK INDONESIA 2024

GENBI MENGAJI PART 2

NON TUNAI – SOLUSI TRANSAKSI DI MASA PANDEMI